Selasa, Ogos 05, 2008

Hikmah di sebalik Peristiwa Isra' wal Mi'raj….

oleh : anissuria08

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya untuk kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1).
Dalam setiap peristiwa yang terjadi di alam ini pastilah ada hikmahnya, walaupun itu tersembunyi dan belum diketahui banyak orang. Setidaknya dari peristiwa ini, kita boleh mengambil hikmah. Pendapat dari Mutawalli asy-Sya’rawi bahwa hikmah yang paling esensial dari hikmah Isra’ dan Mi’raj secara global mengandung tiga dimensi:
pertama: Allah s.w.t hendak menunjukkan kepada Rasulullah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling besar.
Kedua, untuk membuktikan kebesaran-Nya kepada Muhammad s.a.w. agar ia tetap kukuh melaksanakan tugas kenabiannya.
Ketiga, untuk menerima tugas yang paling mulia dalam ritus ibadah dan ubudiyah seseorang muslim yang berupa solat lima waktu, dimana merupakan media yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla (asy-Sya’rawi, 1980: 135).
Hikmah-hikmah lain yang boleh kita ambil juga ialah:
Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat pertama yang dimulai dengan ‘tasbih’ subhâna [Maha Suci] maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilerakukan adalah menjaga integritas moral (akhlak al-karimah) dan kesucian diri dengan berzikir,bertasbih kepada-Nya. Ini akan diaplikasi dalam kehidupan seharian.
Kedua: Hendaklah kebijakan seorang pemimpin tertanam di dalam hati dan keperluan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, hal itu telah diteladankan oleh Nabi s.a.w. ketika ia (turun) ke bumi setelah bertemu dengan Allah s.w.t. Padahal pertemuan dengan Allah adalah cita-cita dan tujuan umat manusia. Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, tasharrufu al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manutun bi al-mashlahah (kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemashlahatan) (al-Nadhwi, 1998: 124)
Ketiga: Amanat Rasulullah saw dari peristiwa ini adalah untuk menegakkan solat lima waktu. Pada dasarnya shalat mengajarkan kita tentang prinsip-prinsip kepemimpinan, yakni hubungan di antara manusia (‘abdun) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya.
Keempat: Kepemimpinan dalam solat tercermin dengan adanya seorang imam, jika shalat tersebut tidak dilaksanakan sendirian. Makmum (pengikut/ rakyat) diharuskan menegur (dengan cara tertentu) apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya. Bahkan, apabila makmum membiarkan imam melakukan kekeliruan (dengan tanpa kesengajaan) maka makmum-lah yang menanggung dosa dan kesalahannya. Pesan intinya adalah ashlih nafsaka wad’û ghairaka (perbaikilah dirimu, dan ajaklah (juga tegurlah) orang lain untuk berbuat baik). Wallahu a’lam bi ash-shawâb.

Tiada ulasan: